Ketika
saya merenungkan dan memperbandingkan pola pendidikan yang saya terima
dulu dengan pola yang ada sekarang, saya merasa JIWA dan SENI ajar
mengajar sudah mengalami perbedaan dan pergeseran nilai. Berbincang
dengan teman-teman lain yang entah berperan sebagai orang tua, pengamat
pendidikan atau lainnya, mereka juga merasakan perbedaan itu. Dampak
dari semua itu adalah perilaku anak yang dinilai beda dengan perilaku
jaman kita di usia yang sama. Kalau mau dinilai secara objektif, tentu
saja ada sisi positif dan sisi negatif.
Sebuah
peribahasa Latin yang berbunyi “Non scholae sed vitae discimus” dapat
diterjemahkan sebagai kita belajar bukan untuk nilai sekolah, namun demi
nilai kehidupan. Artinya di sini adalah tujuan utama dari sekolah
bukanlah demi nilai yang tinggi atau demi orang tua, diri sendiri atau
guru/sekolah, namun yang ingin dicapai dengan bersekolah adalah mendapat
manfaat (baca: ilmu) yang bisa dipergunakan dalam hidup.
- Orientasi pendidikan
- Institusi pendidikan
- Tenaga pendidik
- Materi pendidikan
Note: Sebagai catatan jaman dulu yang dimaksud adalah sekitar tahun 1950 – tahun 1980-an.
ORIENTASI PENDIDIKAN
Orientasi Pendidikan Jaman Dulu
Pada
awalnya pendidikan dimaksudkan untuk mendidik benih manusia agar anak
manusia ini tumbuh menjadi seorang yang berakhlak tinggi dan mulia, yang
berbeda dengan manusia purba. Investasi manusia di sini berarti
memanusiakan manusia, yaitu mengajarkan nilai kehidupan kepada seorang
anak manusia, yang diibaratkan benih manusia. Misi utama lembaga
pendidikan adalah mengajarkan budi pekerti, etika, saling mengalah dan
mendulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Hal ini
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat. Setelah itu institusi dan tenaga pendidik baru akan
mengajarkan keterampilan yang membuat benih manusia itu mampu menyokong
hidupnya sendiri di masa depan.
Orientasi Pendidikan Jaman Sekarang
Pendidikan
sekarang lebih berorientasi kepada bagaimana meningkat kecerdasan,
prestasi, keterampilan, dan bagaimana menghadapi persaingan. Pendidikan
sekarang kehilangan misi utamanya untuk investasi karakter manusia.
Pendidikan moral dan karakter bukan lagi merupakan faktor utama seorang
anak mengenyam pendidikan. Kedua hal ini dianggap menjadi tugas para
tokoh agama, tugas orang tua atau wali di rumah. Sekolah berlomba
menonjolkan kurikulum yang dipercaya bisa menciptakan generasi muda
super dari usia sedini mungkin. Para orang tua juga tergiur dan ingin
anaknya menjadi “super kid.” Kata teman-teman saya: “Biar pensiun muda!”
INSTITUSI PENDIDIKAN
Institusi Pendidikan Jaman Dulu
Jaman
dulu sekolah didirikan oleh pemerintah atau para misionaris dan pemuka
agama. SD Negeri, SMP Negeri, SMA Negeri adalah judul sekolah yang
didirikan dan beroperasi atas anggaran Departemen Pendidikan. Para
misionaris yang awalnya berasal dari Belanda melalui misi penyebaran
agama Kristiani juga mendirikan sekolah sebagai wujud pelayanan, di
samping mendirikan rumah sakit. Madrasah-madrasah, tsanawiyah-tsanawiyah
juga berdiri dan dikelola oleh pemuka agama dan mesjid.
Karena
misi utama mereka adalah pelayanan dan kembali kepada orientasi
pendidikan yang diemban, maka sekolah dalam hal ini tidak mengejar
keuntungan secara materi. Pada jaman dulu memang ada perbedaan biaya
juga, yaitu antara sekolah favorit dan sekolah yang tidak begitu unggul.
Orang tua juga berupaya agar anaknya bisa masuk sekolah favorit,
walaupun harus mengeluarkan dana lebih banyak.
Institusi Pendidikan Jaman Sekarang
Jaman
sekarang orang pribadi, yayasan atau perusahaan swasta boleh mendirikan
institusi pendidikan. Hal ini membuat misi utama sebuah institusi
pendidikan tidak lagi murni untuk pelayanan sosial, namun orang atau
yayasan atau perusahaan yang mendirikan lembaga pendidikan tersebut akan
memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan. Ini berarti sebuah
sekolah atau lembaga pendidikan adalah suatu investasi. Agar mempunyai
daya saing satu dengan lainnya, masing-masing menghadirkan kelebihan
yang tidak dimiliki sekolah tradisional yang sudah ada, misalnya dari
segi kurikulum, sarana pendidikan, tenaga pengajar asing dsb.
TENAGA PENDIDIK
Tenaga Pendidik Jaman Dulu
Pada
jaman ini seseorang memilih menjadi guru lebih terdorong oleh hasrat
dalam diri untuk membaktikan diri. Ia memahami konsekuensi menjadi guru
adalah melayani, dan sudah sadar bahwa ia tidak akan kaya seperti
seorang pengusaha. Di era 1980-n seorang guru yang mempunyai kemampuan
lebih bisa memberikan les privat di luar jam sekolah, itu adalah
pemasukan tambahan selain gaji pokok sebagai seorang guru. Ada juga yang
membuka warung kecil-kecilan untuk menambah lauk di rumah. Belum lagi
di daerah terpencil, tenaga mereka dihargai dengan hasil lading orang
tua murid. Maka di jaman itu kita sering mendengar istilah: “Guru adalah
pahlawan tanpa tanda jasa.”
Guru
pada jaman itu merupakan suatu profesi yang sangat terhormat, karena
dianggap memiliki pengetahuan lebih daripada masyarakat setempat.
Masyarakat juga menuntut para guru mengajarkan nilai moral kepada
anak-anak mereka, di samping pengetahuan baca tulis dan berhitung. Guru
juga punya hak otoriter sebagai pengganti orang tua bila anak berada di
sekolah. Cara mendidik mereka lebih banyak menggunakan pendekatan
pribadi yang membuat interaksi guru murid lebih erat. Hal ini terbawa
sampai di luar jam sekolah karena kondisi social masyarakat jaman dulu
yang lebih bersifat kekeluargaan.
Tenaga Pendidik Jaman Sekarang
Perekrutan
tenaga pendidik sekarang (baca: Mayoritas) lebih mengutamakan nilai
kelulusan dan sertifikasi yang dimiliki guru tersebut. Apakah guru
tersebut sudah pasti kompeten mengajar dengan kelulusan yang bernilai
tinggi dan banyaknya sertifikat yang dimiliki? Belum tentu. (Maaf, tidak
ada sedikit pun maksud saya untuk menyamaratakan dedikasi dan porensi
semua guru). Namun sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sekolah-sekolah
yang ingin merekrut guru di samping pengalaman minimal 1 atau 2 tahun
juga meminta bukti berupa sertifikat yang dimiliki guru tersebut sebagai
bukti bahwa ia mempunyai ‘skill’ lebih. Tuntutan ekonomi membuat
dedikasi mengajar sebagai suatu pelayanan menjadi berkurang. Bisa
dimaklumi karena media apapun sekarang berlomba menawarkan barang
konsumsi. Guru juga seorang manusia, ia punya keluarga yang harus
dihidupi. Di jaman sekarang tuntutan ekonomi seakan tidak pernah habis,
malah selalu naik setiap tahunnya.
Cara
mendidik guru sekarang juga sangat jarang menggunakan pendekatan pribadi
lagi. Wibawa seorang guru tidak lagi dianggap sebagai pihak otoriter
yang mesti disegani, dipanuti. Murid menganggap guru mengajar hanya
menjalankan kewajiban, interaksi guru-siswa terbatas pada jam sekolah.
Masyarakat sekarang yang lebih mengarah ke individualis, terutama di
kota-kota besar, membuat interaksi personal semakin berkurang. (Sekali
lagi maaf…ini kecenderungan yang terlihat menonjol di masyarakat kita).
Apakah hal ini merupakan efek domino dari tuntutan jaman atau sistem
pemerintahan kita dalam menyusun kurikulum?
MATERI PENDIDIKAN
Materi Pendidikan Jaman Dulu
Kurikulum
atau materi pendidikan jaman dulu lebih menekankan pada pembentukan
nurani seorang anak, penumbuhan dan penguatan karakter yang kelak
membuatnya mampu membedakan mana yang baik dan benar, untuk kemudian
mengutamakan keadilan, kedamaian, harkat dan martabat manusia terlepas
dari perbedaan suku, agama, ras dan budaya. Terlepas suatu sekolah itu
sekolah favorit atau tidak, mereka punya kurikulum yang sama. Selolah
tidak terbagi menjadi sekolah nasional, sekolah nasional plus, sekolah
internasional. Materi yang diajarkan kepada siswa di setiap propinsi
sama, kalaupun berbeda tidak terdapat kesenjangan yang mencolok mata.
Materi Pendidikan Jaman Sekarang
Jaman
sekarang status sekolah terbagi menjadi menjadi sekolah nasional,
sekolah nasional plus, sekolah internasional. Ada istilah diakui,
terakreditasi dll. Kurikulum yang digunakan juga berbeda satu dengan
lainnya. Ada sekolah yang menggunakan kurikulum Cambridge, ada yang
menggunakan kurikulum Montessori, dan lain-lain. Penonjolan keunggulan
juga terlihat dari banyaknya jam pengajaran suatu mata pelajaran
tertentu, misalnya ada sekolah yang bahasa pengantarnya Inggris,
Mandarin. Ironisnya bahasa Indonesia hanya diberikan satu jam per
minggu. Bagaimana menanamkan semangat nasionalisme dan kebangsaan bila
sejak kecil seorang anak diajari bahwa bahasa yang lebih bergengsi dan
diterima di dunia internasional itu adalah bahasa selain bahasa
Indonesia?
Di
samping itu penekanan tujuan sekolah dititikberatkan pada cara-cara
untuk meningkatkan kecerdasan, prestasi, keterampilan, dan bagaimana
mempersiapkan siswa menghadapi persaingan global di masa depan.
KESIMPULAN
Setiap
jaman mempunyai masalah dan situasi yang berbeda. Sangat naif bila kita
sekarang memaksakan kurikulum yang ada pada pendidikan jaman dulu
diterapkan pada kurikulum sekarang. Ibarat pada tahun 1960-an orang
begitu bangga mengenakan celana panjang model cut-bray, tidak mungkin
kita menuntut remaja sekarang juga memakai model yang sama. Mereka akan
terlihat aneh di mata remaja lain yang mengikuti perkembangan model
legging jaman sekarang.
Itu soal
pakaian, tentunya beda sekali dengan pendidikan dan kurikulum yang
up-to-date untuk mengembangkan potensi seorang anak manusia. Lantas
kurikulum seperti apa yang ideal? Pola seperti apa yang ingin kita
tanamkan kepada anak Indonesia?
Menurut
saya bila seseorang memutuskan memilih berprofesi sebagai seorang guru
hendaklah dirinya juga berpikir, bersikap dan berperilaku seperti
seorang guru. Ada pesan dari seorang dosen saya yang berkata: “Ketika
kita menghukum anak didik, kita juga sedang menghukum diri sendiri.”
Artinya,
bila murid melakukan kesalahan maka guru juga punya andil dalam
kesalahan tersebut, dan murid akan mempunyai respek bila guru tersebut
berada di sampingnya dalam mengkoreksi kesalahan tersebut. Ketika murid
dihukum menulis ulang esainya, guru duduk mendampinginya. Guru juga
merasakan apa yang dialaminya. Anak akan segan dan respek pada orang
yang mampu menyelami apa yang dirasakannya.
Saya
pribadi juga berharap kurikulum yang akan disusun pada tahun 2013 mampu
mengembalikan kurikulum ke tujuan pendidikan yang utama, yakni: “Non
scholae sed vitae discimus”, yaitu kita belajar bukan untuk nilai
sekolah, namun demi nilai kehidupan. Semoga kurikulum yang baru berisi
elemen-elemen pendidikan yang essensial.
ELEMEN PENDIDIKAN ESSENSIAL
Pendidikan
terhadap seorang anak mencakup beberapa segi atau elemen, yang
masing-masing harus ditanamkan kepada anak dalam porsi yang
proporsional, agar kelak mereka bisa mempunyai keseimbangan di antara
berbagai elemen tersebut. Elemen-elemen itu sengaja tidak saya urutkan
karena semuanya sama penting!
Pendidikan seorang anak seyogyanya mencakup bidang:
- Ilmu Pengetahuan
- Karakter
- Kesenian
- Spiritual / keagamaan.
- Kreativitas
Semua
aspek tersebut diperlukan untuk mendidik dan membina seorang anak agar
menjadi seorang insan yang berpengetahuan dan kreatif, mencintai bangsa,
berhati nurani dan bijaksana. Anak Indonesia juga harus mempunyai
keterampilan, kompetensi seperti anak-anak di negara lain. Sekarang
sudah jaman globalisasi, tentulah anak juga perlu kreativitas
menciptakan peluang untuk kehidupan yang lebih baik. Kreativitas itu
mencakup kreatif dalam berpikir, kreatif dalam bertindak dan kreatif
dalam memprediksi hal atau masa yang akan datang.
Bila
tujuan, visi dan misi sudah ditegakkan, kita perlu mencacah ke bagian
lebih lanjut, yaitu bagaimana mewujudkan visi misi tersebut? Bagaimana
menerapkan dan mengawasi jalannya kurikulum yang baru itu? Apa proporsi
yang ideal antara meningkatkan karakter dan ilmu pengetahuan? Bagaimana
agar pendidikan bisa dinikmati merata di semua kalangan? Bagaimana
menentukan kriteria keberhasilan suatu pendidikan?
PENUTUP (Proses Pendidikan)
Proses
pendidikan adalah suatu proses yang berlangsung seumur hidup, dimulai
pada saat ia dilahirkan. Hal ini berarti keberhasilan seorang anak
terbentuk dari pendidikan yang diterimanya, yakni dari: keluarga,
sekolah dan lingkungan atau komunitas di mana anak tersebut tumbuh
(dibesarkan). Dan sifatnya adalah jangka panjang dan berkelanjutan.
Anak-anak hanya akan tumbuh menjadi pribadi yang matang bila dibesarkan
di lingkungan yang berkarakter, sehingga hakekat setiap anak yang
dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Dan karakter yang ini
terbentuk dari suatu kebiasaan (habit) yang terus menerus dipraktekkan.
Anak
belajar paling banyak dari apa yang dilihat dan didengarnya, oleh sebab
itu sangat penting menempatkan anak di lingkungan yang bisa membina dan
mendidik anak untuk menjadi seorang manusia yang dewasa, penuh kasih
sayang, cerdas, mampu berempati dengan orang lain, jujur, bertanggung
jawab dan dapat diandalkan serta berhati nurani. Sekali lagi ini berarti
faktor peranan keluarga, pendidikan formal dan informal, dan komunitas
sangat menentukan. Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai pihak
otoritas hendaknya mengkaji sedalam-dalamnya aspek dari dilaksanakannya
program ini, baik yang positif maupun yang negatif.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi dunia pendidikan kita.
Tulisan ini mengutif dari Ling Majaya
anwarsanusi_alrm@yahoo.com